Prioritaskan Akal Atau Dalil? Memahami Sifat Allah Dalam Ayat Mutasyabihat

by Scholario Team 75 views

Pendahuluan

DalamDiskursus teologi Islam, pertanyaan mengenai prioritas akal atau dalil dalam memahami sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala merupakan perdebatan klasik yang terus bergulir. Persoalan ini menjadi krusial ketika berhadapan dengan ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur'an, yakni ayat-ayat yang zhahir-nya memberikan kesan bahwa Allah memiliki sifat-sifat fisik atau bertempat, seperti ayat yang menyatakan bahwa Allah bersemayam di atas Arsy. Di satu sisi, terdapat kelompok yang cenderung mendahulukan dalil secara tekstual, menerima makna zhahir ayat tanpa ta'wil (interpretasi). Di sisi lain, ada kelompok yang mengedepankan akal, dengan argumentasi bahwa Allah Ta'ala Maha Suci dari segala sifat kekurangan dan keserupaan dengan makhluk (mukhalafatul lil hawadits), sehingga ayat-ayat tersebut perlu ditafsirkan secara lebih mendalam agar tidak menimbulkan pemahaman yang keliru tentang Dzat Allah.

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif mengenai perseteruan akal dan dalil dalam memahami sifat-sifat Allah, khususnya terkait ayat-ayat mutasyabihat tentang istiwa' (bersemayam) Allah di atas Arsy. Kajian ini akan menelaah berbagai argumentasi dari masing-masing kubu, dengan merujuk pada pandangan para ulama dari berbagai mazhab dan disiplin ilmu, seperti teologi (ushuluddin), tafsir, dan filsafat Islam. Selain itu, artikel ini juga akan memberikan tawaran solusi atau titik temu (ishlah) antara kedua kubu, sehingga dapat tercipta pemahaman yang lebih komprehensif dan holistik tentang sifat-sifat Allah Ta'ala.

Dalil Naqli dan Implikasinya: Studi Kasus Ayat Istiwa'

Dalil naqli, yang bersumber dari Al-Qur'an dan hadis, merupakan fondasi utama dalam teologi Islam. Ayat-ayat Al-Qur'an tentang istiwa' Allah di atas Arsy, seperti dalam Surah Taha ayat 5, menjadi titik perhatian utama dalam perdebatan ini. Secara zhahir, ayat ini memberikan kesan bahwa Allah bertempat di atas Arsy, sebuah pemahaman yang dapat menimbulkan antropomorfisme (tasybih), yaitu menyamakan Allah dengan makhluk. Kelompok yang cenderung mendahulukan dalil secara tekstual berpegang pada makna zhahir ayat ini, tanpa melakukan ta'wil yang dianggap sebagai penyimpangan dari makna aslinya. Mereka berpendapat bahwa akal manusia terbatas dalam memahami hakikat Dzat dan sifat-sifat Allah, sehingga harus tunduk pada nash (teks) Al-Qur'an dan hadis.

Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya diterima oleh mayoritas ulama. Mereka berpendapat bahwa pemahaman tekstual terhadap ayat-ayat mutasyabihat dapat menimbulkan pemahaman yang keliru tentang Allah. Konsep mukhalafatul lil hawadits, yang merupakan prinsip fundamental dalam teologi Islam, menegaskan bahwa Allah berbeda dengan segala sesuatu yang baharu (hadits), termasuk makhluk. Jika Allah bertempat, maka Dia memiliki batasan dan membutuhkan tempat, yang merupakan sifat makhluk. Oleh karena itu, mereka yang mengedepankan akal berpendapat bahwa ayat-ayat mutasyabihat harus ditafsirkan (ta'wil) agar sesuai dengan prinsip mukhalafatul lil hawadits dan kemahasucian Allah.

Berbagai ta'wil telah diajukan oleh para ulama terkait ayat istiwa'. Beberapa ulama menafsirkan istiwa' sebagai al-istila' (menguasai), sehingga makna ayat tersebut adalah Allah menguasai Arsy. Arsy dalam hal ini dimaknai sebagai makhluk Allah yang paling besar dan mulia, simbol kekuasaan dan keagungan Allah. Dengan demikian, ayat ini tidak menunjukkan bahwa Allah bertempat di Arsy, tetapi menegaskan kekuasaan mutlak Allah atas seluruh alam semesta. Ta'wil ini didukung oleh dalil-dalil lain dalam Al-Qur'an yang menegaskan kemahasucian Allah dari segala sifat kekurangan dan kebutuhan. Pemahaman yang mendalam terhadap konteks historis dan kebahasaan ayat juga sangat penting dalam melakukan ta'wil yang akurat dan relevan.

Peran Akal dalam Memahami Dalil: Menjembatani Tekstualitas dan Rasionalitas

Akal memiliki peran krusial dalam memahami dalil naqli, khususnya ayat-ayat mutasyabihat. Akal berfungsi sebagai alat untuk memverifikasi, menganalisis, dan menginterpretasi dalil, sehingga diperoleh pemahaman yang komprehensif dan holistik. Akal tidak boleh diabaikan, karena Allah sendiri telah menganugerahkan akal kepada manusia sebagai karunia yang agung. Dalam Al-Qur'an, terdapat banyak ayat yang mendorong manusia untuk berpikir, merenung, dan menggunakan akalnya dalam memahami ayat-ayat Allah.

Namun, akal juga memiliki keterbatasan. Akal tidak dapat menjangkau hal-hal yang ghaib secara sempurna, termasuk hakikat Dzat Allah. Oleh karena itu, akal harus tunduk pada wahyu sebagai sumber pengetahuan yang tertinggi. Dalam konteks memahami sifat-sifat Allah, akal berfungsi untuk memahami makna yang tersirat dalam ayat-ayat mutasyabihat, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip teologi Islam, seperti mukhalafatul lil hawadits. Akal membantu untuk menafsirkan ayat-ayat tersebut secara rasional dan logis, tanpa terjebak dalam pemahaman tekstual yang dapat menimbulkan antropomorfisme.

Para ulama ahlussunnah wal jama'ah telah merumuskan kaidah-kaidah ta'wil yang komprehensif dan terukur. Ta'wil yang sahih harus memenuhi beberapa syarat, antara lain: tidak bertentangan dengan dalil naqli yang qath'i (pasti), didukung oleh dalil naqli atau aqli (rasional) yang lain, dan tidak menimbulkan makna yang lebih jauh dari makna zhahir ayat. Dengan demikian, ta'wil tidak boleh dilakukan secara serampangan, tetapi harus berdasarkan pada kaidah-kaidah yang ketat dan terukur. Akal berperan penting dalam menerapkan kaidah-kaidah ini, sehingga ta'wil yang dihasilkan dapat diterima secara rasional dan teologis. Pendekatan yang seimbang antara akal dan dalil merupakan kunci untuk memahami sifat-sifat Allah secara mendalam dan komprehensif.

Menemukan Titik Temu: Harmoni Akal dan Wahyu dalam Memahami Sifat Allah

Perdebatan mengenai prioritas akal atau dalil dalam memahami sifat-sifat Allah sebenarnya dapat diatasi dengan menemukan titik temu (ishlah) antara kedua kubu. Akal dan wahyu bukanlah dua entitas yang bertentangan, tetapi saling melengkapi dan mendukung. Wahyu memberikan petunjuk dan batasan, sedangkan akal berfungsi untuk memahami dan mengembangkan petunjuk tersebut. Dalam konteks memahami sifat-sifat Allah, akal membantu untuk memahami makna yang tersirat dalam ayat-ayat mutasyabihat, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip teologi Islam yang bersumber dari wahyu.

Salah satu cara untuk menemukan titik temu adalah dengan memahami bahwa ayat-ayat Al-Qur'an memiliki tingkatan makna yang berbeda-beda. Ada ayat-ayat yang muhkamat (jelas maknanya), dan ada ayat-ayat yang mutasyabihat (samar maknanya). Ayat-ayat muhkamat merupakan fondasi utama dalam teologi Islam, sedangkan ayat-ayat mutasyabihat memerlukan ta'wil yang cermat dan hati-hati. Dalam melakukan ta'wil, akal harus tunduk pada prinsip-prinsip teologi Islam yang telah ditetapkan oleh para ulama ahlussunnah wal jama'ah. Ta'wil tidak boleh dilakukan secara serampangan, tetapi harus berdasarkan pada kaidah-kaidah yang ketat dan terukur. Dengan demikian, akal dan wahyu dapat berjalan beriringan dalam memahami sifat-sifat Allah.

Selain itu, penting untuk memahami bahwa tujuan utama dari ayat-ayat mutasyabihat bukanlah untuk memberikan informasi tentang hakikat Dzat Allah, yang ghaib dan tidak terjangkau oleh akal manusia, tetapi untuk memberikan gambaran tentang keagungan dan kekuasaan Allah. Ayat-ayat tentang istiwa', misalnya, tidak bertujuan untuk menjelaskan bagaimana Allah bersemayam di atas Arsy, tetapi untuk menegaskan kekuasaan mutlak Allah atas seluruh alam semesta. Pemahaman ini membantu untuk menghindari antropomorfisme dan pemahaman tekstual yang sempit. Dengan demikian, akal dan wahyu dapat bekerja sama dalam memahami hikmah yang terkandung dalam ayat-ayat mutasyabihat. Integrasi antara akal dan wahyu akan menghasilkan pemahaman yang lebih mendalam, komprehensif, dan holistik tentang sifat-sifat Allah.

Kesimpulan

Perdebatan mengenai prioritas akal atau dalil dalam memahami sifat-sifat Allah merupakan isu kompleks yang memerlukan pendekatan yang bijaksana dan terukur. Akal dan wahyu bukanlah dua entitas yang saling bertentangan, tetapi saling melengkapi dan mendukung. Dalam konteks memahami ayat-ayat mutasyabihat, akal berfungsi untuk memahami makna yang tersirat, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip teologi Islam yang bersumber dari wahyu.

Menemukan titik temu antara akal dan wahyu adalah kunci untuk memahami sifat-sifat Allah secara mendalam, komprehensif, dan holistik. Hal ini dapat dicapai dengan memahami tingkatan makna dalam ayat-ayat Al-Qur'an, menerapkan kaidah-kaidah ta'wil yang sahih, dan memahami tujuan utama dari ayat-ayat mutasyabihat. Dengan demikian, kita dapat menghindari antropomorfisme dan pemahaman tekstual yang sempit, serta memperoleh pemahaman yang benar dan proporsional tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Pemahaman yang mendalam tentang sifat-sifat Allah akan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada-Nya, serta mendorong kita untuk senantiasa bertafakur dan merenungi ayat-ayat-Nya.